Penulis:
ISWI HARIYANI
CITA YUSTISIA SERFIYANI
R. SERFIANTO D. PURNOMO
Penerbit:
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2018
RINGKASAN
Penyelesaian sengketa bisnis dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non-litigasi). Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dilakukan dengan cara mengajukan
gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri. Cara ini mulai banyak ditinggalkan para pelaku bisnis karena prosesnya
panjang, lama, mahal dan berbelit-belit. Hasil putusan Pengadilan Negeri masih
bisa diajukan banding ke Pengadilan Tinggi lalu kasasi hingga peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung.
Penyelesaian litigasi
juga bisa dilakukan via Pengadilan Niaga khusus bagi sengketa Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Selain
berwenang mengurus kepailitan, Pengadilan Niaga juga berwenang mengurus
sengketa HKI. Hampir semua sengketa HKI (Hak Cipta, Merek, Indikasi Geografis,
Paten, Desain Industri, DTLST) diurus melalui Pengadilan Niaga, sedangkan
sengketa HKI lainnya (Rahasia Dagang dan Perlindungan Varietas Tanaman) diurus
melalui Pengadilan Negeri.
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR) semakin banyak digunakan para pelaku bisnis
sebagai cara penyelesaian sengketa di luar peradilan. Para pelaku bisnis enggan
menggunakan jalur litigasi karena reputasi peradilan yang kurang kondusif bagi
pengembangan bisnis di masa depan.
Meskipun MA telah mendorong proses peradilan dapat berlangsung cepat,
sederhana dan murah, namun faktanya tidak demikian. Proses peradilan di
Indonesia masih tergolong lama, berbelit-belit, mahal, dan putusannya sulit
dieksekusi. Mafia peradilan masih tumbuh subur sehingga pihak yang dimenangkan
bukan pihak yang benar, tetapi pihak yang mau membayar mahal oknum peradilan.
Peradilan di Indonesia cencerung lebih berpihak kepada penguasa dan pemodal
besar.
Keengganan para pelaku bisnis menggunakan jalur litigasi juga disebabkan
proses peradilan yang bersifat menang-kalah, sehingga dapat merusak hubungan
bisnis. Proses persidangan di peradilan kebanyakan juga bersifat terbuka untuk
umum, sehingga tidak ada jaminan kerahasiaan bagi para pihak yang sedang
bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui APS lebih diminati
pelaku bisnis karena dinilai lebih efisien dan efektif. Pelaku bisnis dapat
menggunakan beberapa model APS seperti : Negosiasi, Konsultasi, Pendapat
Mengikat, Mediasi, Konsiliasi, Adjudikasi, Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa
Daring. Penyelesaian sengketa melalui APS telah memiliki dasar hukum
yang kuat sejak diterbitkannya UU 30/ 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Pada tahap awal sengketa, para pihak dianjurkan memakai cara Negosiasi
tanpa melibatkan pihak ketiga. Jika Negosiasi gagal, para pihak dapat mengundang
pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan sengketa. Pihak ketiga dapat
berstatus sebagai konsultan, ahli hukum, mediator, konsiliator, adjudikator dan
arbiter.
Konsultasi mirip dengan Pendapat Mengikat karena melalui kedua cara APS
ini para pihak meminta pendapat dari ahli hukum dan ahli bisnis terkait.
Perbedaannya, saran dari hasil konsultasi tidak bersifat mengikat para pihak.
Sebaliknya, pendapat ahli dari hasil Pendapat Mengikat harus dipatuhi para
pihak karena bersifat mengikat.
Mediasi mirip dengan Konsiliasi karena keduanya melibatkan pihak ketiga
sebagai penengah atau pendamai. Perbedaannya, mediator lebih aktif mengajak
para pihak menemukan titik temu hingga mencapai kesepakatan perdamaian,
sedangkan konsiliator lebih bersikap pasif dan hanya bertindak sebagai
fasilitator pertemuan. Mediator dan konsiliator tidak berhak membuat
kesepakatan perdamaian, sebab kesepakatan perdamaian adalah hak para pihak yang
bersengketa. Mediator dan konsiliator juga tidak berhak membuat putusan
layaknya hakim atau arbiter.
Adjudikasi adalah cara APS yang baru diterapkan di Indonesia, khususnya
di industri jasa keuangan. Adjudikasi mirip dengan Arbitrase karena adjudikator
memiliki wewenang membuat putusan seperti arbiter. Bedanya, putusan adjudikator
harus ditawarkan lebih dulu kepada Pemohon, dan jika Pemohon setuju maka
putusan boleh diberlakukan. Adjudikasi
ditempuh guna melindungi Pemohon yang berasal dari nasabah kecil agar memiliki
posisi setara dengan lembaga jasa keuangan. Putusan Adjudikasi dan putusan Arbitrase sama-sama
bersifat final dan mengikat.
Jika sengketa bisnis diselesaikan lewat Arbitrase, maka para
pihak bebas memilih arbiter, hukum materiil, hukum acara,
tempat beracara dan jangka waktu penyelesaian sengketa. Sedangkan jika
menggunakan Mediasi, dan Konsiliasi, para pihak dapat memilih mediator atau konsiliator dan tata
cara penyelesaian sengketa serta
menentukan format perdamaian berdasarkan kesepakatan para pihak. Proses Arbitrase mirip Pengadilan sehingga disebut pula semi-pengadilan
(quasi-judicial). Eksekusi putusan
Arbitrase tidak dapat langsung dilaksanakan karena harus lebih dulu diajukan
permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Penyelesaian sengketa bisnis
via internet dapat dilakukan via Penyelesaian Sengketa Daring (PSD) atau Online Dispute Resolution (ODR). PSD
sudah dimungkinkan karena semua data elektronik dan tanda tangan elektronik
bisa dijadikan bukti hukum sesuai UU ITE. PSD lebih sesuai diterapkan di bisnis
daring (bisnis online), e-dagang (e-commerce) dan bisnis berbasis
teknologi fiansial (tekfin/fintech).
PSD lebih cepat dan lebih murah dibandingkan penyelesaian sengketa via darat (offline).
Penyelesaian
sengketa bisnis di sektor Industri Jasa Keuangan diatur khusus oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang kini
bertindak menggantikan peran Bank Indonesia (BI) selaku regulator dan pengawas
lembaga perbankan. Selain berwenang mengawasi lembaga perbankan, OJK juga
mengambil alih peran Bapepam-LK dalam bidang pengawasan pasar modal dan lembaga
keuangan non-bank. Dasar hukum pembentukan OJK adalah UU 21/2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
OJK telah
menerbitkan Peraturan OJK nomor 1/ POJK.07/ 2014 tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. OJKI juga menerbitkan Keputusan
OJK nomor Kep-01/ D.07/ 2016 tanggal 21 Januari 2016 yang mengesahkan
pembentukan 6 (enam) Lembaga APS di industri jasa keuangan yaitu:
a) Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI)
b) Badan Arbitrase
Pasar Modal Indonesia (BAPMI)
c) Badan Mediasi
dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI)
d) Badan Arbitrase
dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI)
e) Badan Mediasi
Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI)
f) Badan Mediasi
Dana Pensiun (BMDP).
g) Badan Arbitrase
Ventura Indonesia (BAVI)
Sengketa bisnis
juga dapat diselesaikan melalui Lembaga APS lainnya seperti :
a) Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI)
b) Badan Arbitrase
Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI)
c) Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS)
d) Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
e) Badan Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Konstruksi Indonesia (BADAPSKI)
f) Badan Mediasi
Indonesia (BaMI)
g) Pusat Mediasi
Nasional (PMN)
h) Pusat Arbitrase
dan Mediasi Indonesia (PAMI)
Sengketa bisnis global dapat diselesaikan via
lembaga APS internasional seperti :
a) American Arbitration
Association (AAA)
b) Stockholm Chamber of
Commerce (SCC)
c) Association Française d'Arbitrage (AFA)
d) Beijing Arbitrase
Commission (BAC)
e) Cairo Regional Centre for International Commercial Arbitration (CRCICA)
f) Singapore
International Arbitration Centre
(SIAC)
g) International
Chamber of Commerce (ICC)
h) International Centre for
Settlement of Investment Disputes (ICSID)
i) Japan
Commercial Arbitration Association (JCAA)
j) Netherlands
Arbitration Institute (NAI)
k) Korean
Commercial Arbitration Board (KCAB)
l) Australian
Centre for International Commercial Arbitration (ACICA)
m) Philippines
Dispute Resolution Centre (PDRC)
n) Hong Kong
International Arbitration Centre (HKIAC)
o) Foundation for International Commercial
Arbitration
and
Alternative Dispute Resolution (SICA-FICA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar