Sabtu, 12 Januari 2019

Buku Penyelesaian Sengketa Bisnis | Ringkasan

Buku PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS


Penulis:
ISWI HARIYANI
CITA YUSTISIA SERFIYANI
R. SERFIANTO D. PURNOMO

Penerbit:
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2018

RINGKASAN

Penyelesaian sengketa bisnis dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non-litigasi).  Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri. Cara ini mulai banyak ditinggalkan para pelaku bisnis karena prosesnya panjang, lama, mahal dan berbelit-belit. Hasil putusan Pengadilan Negeri masih bisa diajukan banding ke Pengadilan Tinggi lalu kasasi hingga peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Penyelesaian litigasi juga bisa dilakukan via Pengadilan Niaga khusus bagi sengketa  Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Selain berwenang mengurus kepailitan, Pengadilan Niaga juga berwenang mengurus sengketa HKI. Hampir semua sengketa HKI (Hak Cipta, Merek, Indikasi Geografis, Paten, Desain Industri, DTLST) diurus melalui Pengadilan Niaga, sedangkan sengketa HKI lainnya (Rahasia Dagang dan Perlindungan Varietas Tanaman) diurus melalui Pengadilan Negeri.

Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR)  semakin banyak digunakan para pelaku bisnis sebagai cara penyelesaian sengketa di luar peradilan. Para pelaku bisnis enggan menggunakan jalur litigasi karena reputasi peradilan yang kurang kondusif bagi pengembangan bisnis di masa depan.

Meskipun MA telah mendorong proses peradilan dapat berlangsung cepat, sederhana dan murah, namun faktanya tidak demikian. Proses peradilan di Indonesia masih tergolong lama, berbelit-belit, mahal, dan putusannya sulit dieksekusi. Mafia peradilan masih tumbuh subur sehingga pihak yang dimenangkan bukan pihak yang benar, tetapi pihak yang mau membayar mahal oknum peradilan. Peradilan di Indonesia cencerung lebih berpihak kepada penguasa dan pemodal besar.

Keengganan para pelaku bisnis menggunakan jalur litigasi juga disebabkan proses peradilan yang bersifat menang-kalah, sehingga dapat merusak hubungan bisnis. Proses persidangan di peradilan kebanyakan juga bersifat terbuka untuk umum, sehingga tidak ada jaminan kerahasiaan bagi para pihak yang sedang bersengketa.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui APS lebih diminati pelaku bisnis karena dinilai lebih efisien dan efektif. Pelaku bisnis dapat menggunakan beberapa model APS seperti : Negosiasi, Konsultasi, Pendapat Mengikat, Mediasi, Konsiliasi, Adjudikasi, Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Daring. Penyelesaian sengketa melalui APS telah memiliki dasar hukum yang kuat sejak diterbitkannya UU 30/ 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif  Penyelesaian  Sengketa.

Pada tahap awal sengketa, para pihak dianjurkan memakai cara Negosiasi tanpa melibatkan pihak ketiga. Jika Negosiasi gagal, para pihak dapat mengundang pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan sengketa. Pihak ketiga dapat berstatus sebagai konsultan, ahli hukum, mediator, konsiliator, adjudikator dan arbiter.

Konsultasi mirip dengan Pendapat Mengikat karena melalui kedua cara APS ini para pihak meminta pendapat dari ahli hukum dan ahli bisnis terkait. Perbedaannya, saran dari hasil konsultasi tidak bersifat mengikat para pihak. Sebaliknya, pendapat ahli dari hasil Pendapat Mengikat harus dipatuhi para pihak karena bersifat mengikat.

Mediasi mirip dengan Konsiliasi karena keduanya melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau pendamai. Perbedaannya, mediator lebih aktif mengajak para pihak menemukan titik temu hingga mencapai kesepakatan perdamaian, sedangkan konsiliator lebih bersikap pasif dan hanya bertindak sebagai fasilitator pertemuan. Mediator dan konsiliator tidak berhak membuat kesepakatan perdamaian, sebab kesepakatan perdamaian adalah hak para pihak yang bersengketa. Mediator dan konsiliator juga tidak berhak membuat putusan layaknya hakim atau arbiter.

Adjudikasi adalah cara APS yang baru diterapkan di Indonesia, khususnya di industri jasa keuangan. Adjudikasi mirip dengan Arbitrase karena adjudikator memiliki wewenang membuat putusan seperti arbiter. Bedanya, putusan adjudikator harus ditawarkan lebih dulu kepada Pemohon, dan jika Pemohon setuju maka putusan  boleh diberlakukan. Adjudikasi ditempuh guna melindungi Pemohon yang berasal dari nasabah kecil agar memiliki posisi setara dengan lembaga jasa keuangan. Putusan Adjudikasi dan putusan Arbitrase sama-sama bersifat final dan mengikat.

Jika sengketa bisnis diselesaikan lewat Arbitrase, maka para pihak bebas memilih arbiter, hukum materiil, hukum acara, tempat beracara dan jangka waktu penyelesaian sengketa. Sedangkan jika menggunakan Mediasi, dan Konsiliasi, para pihak dapat memilih mediator atau konsiliator dan tata cara penyelesaian sengketa serta menentukan format perdamaian berdasarkan kesepakatan para pihak. Proses Arbitrase mirip Pengadilan sehingga disebut pula semi-pengadilan (quasi-judicial). Eksekusi putusan Arbitrase tidak dapat langsung dilaksanakan karena harus lebih dulu diajukan permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Penyelesaian sengketa bisnis via internet dapat dilakukan via Penyelesaian Sengketa Daring (PSD) atau Online Dispute Resolution (ODR). PSD sudah dimungkinkan karena semua data elektronik dan tanda tangan elektronik bisa dijadikan bukti hukum sesuai UU ITE. PSD lebih sesuai diterapkan di bisnis daring (bisnis online), e-dagang (e-commerce) dan bisnis berbasis teknologi fiansial (tekfin/fintech). PSD lebih cepat dan lebih murah dibandingkan penyelesaian sengketa via darat (offline).

Penyelesaian sengketa bisnis di sektor Industri Jasa Keuangan diatur khusus oleh  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang kini bertindak menggantikan peran Bank Indonesia (BI) selaku regulator dan pengawas lembaga perbankan. Selain berwenang mengawasi lembaga perbankan, OJK juga mengambil alih peran Bapepam-LK dalam bidang pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan non-bank. Dasar hukum pembentukan OJK adalah UU 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

OJK telah menerbitkan Peraturan OJK nomor 1/ POJK.07/ 2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. OJKI juga menerbitkan Keputusan OJK nomor Kep-01/ D.07/ 2016 tanggal 21 Januari 2016 yang mengesahkan pembentukan 6 (enam) Lembaga APS di industri jasa keuangan yaitu:
a) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI)
b) Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)
c) Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI)
d) Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI)
e) Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI)
f) Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP).
g) Badan Arbitrase Ventura Indonesia (BAVI)

Sengketa bisnis juga dapat diselesaikan melalui Lembaga APS lainnya seperti :
a) Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
b) Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI)
c) Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
d) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
e) Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
    Konstruksi Indonesia (BADAPSKI)
f) Badan Mediasi Indonesia (BaMI)
g) Pusat Mediasi Nasional (PMN)
h) Pusat Arbitrase dan Mediasi Indonesia (PAMI)

Sengketa bisnis global dapat diselesaikan via lembaga APS internasional seperti :
a) American Arbitration Association (AAA)
b) Stockholm Chamber of Commerce (SCC)
c) Association Française d'Arbitrage (AFA)
d) Beijing Arbitrase Commission (BAC)
e) Cairo Regional Centre for International Commercial Arbitration (CRCICA)
f) Singapore International Arbitration Centre (SIAC)
g) International Chamber of Commerce (ICC)
h) International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID)
i) Japan Commercial Arbitration Association (JCAA)
j) Netherlands Arbitration Institute (NAI)
k) Korean Commercial Arbitration Board (KCAB)
l) Australian Centre for International Commercial Arbitration (ACICA)
m) Philippines Dispute Resolution Centre (PDRC)
n) Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC)
o) Foundation for International Commercial Arbitration
    and Alternative Dispute Resolution (SICA-FICA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar