Penulis:
ISWI HARIYANI
CITA YUSTISIA SERFIYANI
R. SERFIANTO D. PURNOMO
Penerbit Andi, Yogyakarta, 2018
RINGKASAN
Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) atau Intelectual
Property Right (IPR) adalah aset non-fisik yang sangat berharga bagi pengembangan
ekonomi kreatif dan ekonomi digital. Ekonomi kreatif diyakini dapat menjadi
sektor ekonomi andalan di masa depan, setelah era ekonomi pertanian, ekonomi
perdagangan, ekonomi industri, dan ekonomi informasi. Presiden Joko Widodo
sangat peduli pengembangan ekonomi kreatif dan ekonomi digital agar Indonesia
tidak ketinggalan dari negara maju.
Pengembangan HKI
dapat mendorong ekonomi konvensional maupun ekonomi digital. Ekonomi digital
tumbuh pesat di dunia sehingga menciptakan peluang baru dan tantangan baru.
Segala macam bisnis konvensional di luar jaringan (offline) kini banyak diduplikasi menjadi bisnis dalam jaringan (online). Pengembangan ekonomi digital
dapat berpotensi mengganggu (disruption)
terhadap ekonomi konvensional.
Sub-sektor ekonomi
kreatif selalu mengandung unsur HKI yang bersifat privat seperti Hak Cipta,
Merek, Paten, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST),
Rahasia Dagang dan Perlindungan Varietas Tanaman (PVT). Ekonomi kreatif juga
berkaitan dengan pemanfaatan HKI milik komunitas seperti Indikasi Asal dan
Indikasi Geografis, serta HKI milik bangsa seperti Warisan Budaya.
HKI dapat
dikembangkan menjadi kegiatan bisnis melalui pemberian lisensi yang dapat
menghasilkan royalti. Jika pemilik HKI ingin mendapatkan untung berlebih,
mereka dapat memperluas lisensi HKI menjadi lisensi waralaba (franchise). Dengan lisensi waralaba,
para pemilik HKI dapat mengontrol sistem bisnis sehingga kegiatan bisnis para
mitra waralaba tidak sampai merusak reputasi pemilik HKI.
Pengembangan
ekonomi kreatif dan ekonomi digital membutuhkan modal usaha yang tidak sedikit.
Modal usaha tersebut dapat berasal dari internal perusahaan dan eksternal
perusahaan. Modal eksternal perusahaan dapat berasal dari lembaga jasa keuangan
konvensional (bank, pegadaian, lembaga pembiayaan, modal ventura, dll) atau
lembaga jasa keuangan berbasis teknologi finansial atau tekfin
(tekfin-pembiayaan/ peer-to-peer lending
dan tekfin-permodalan/ equity
crowdfunding).
Saat ini aset HKI
khususnya Hak Cipta dan Paten sudah dapat dijadikan obyek jaminan utang melalui
Fidusia berdasarkan Pasal 16 UU Hak Cipta
terbaru (UU 28/ 2014) dan Pasal 108 UU Paten terbaru (UU 13/2016). Namun sayang
ketentuan semacam ini belum bisa diberlakukan pada jenis HKI lainnya, padahal
semua jenis HKI pada prinsipnya dapat dijadikan obyek jaminan utang melalui
skema Fidusia.
Obyek Hak Cipta yang
berwujud tidak nyata (immaterial) dan
bersifat tak-benda (intangible) dapat
dijadikan jaminan utang melalui Fidusia sesuai Pasal 16 UU Hak Cipta terbaru
(UU 28/ 2014). Penjaminan obyek Paten (Paten-Produk atau Paten-Proses) yang
tidak nyata (immaterial) dan
tak-benda (intangible) juga dapat
dilakukan melalui Fidusia berdasarkan Pasal 108 UU Paten terbaru (UU 13/ 2016).
Obyek Hak Cipta
berwujud nyata (material) dan
bersifat benda (tangible) dapat pula
dijadikan jaminan utang via Gadai. Namun sayang UU Hak Cipta terbaru belum
mengatur penjaminan via Gadai, padahal obyek jenis ini (seperti lukisan atau
patung) memiliki nilai ekonomi relatif besar bahkan bisa mencapai miliaran
rupiah.
Implementasi
pemanfaatan aset HKI, khususnya Hak Cipta dan Paten, sebagai jaminan kredit di
industri jasa keuangan masih harus menunggu terbitnya revisi Peraturan BI atau
OJK tentang jenis agunan kredit. Penjaminan HKI di Indonesia juga masih
terkendala karena belum terbentuknya Lembaga Penilai Aset HKI.
Eksekusi jaminan Gadai
dan Fidusia relatif mudah karena dapat ditempuh melalui Parate Eksekusi tanpa
meminta fiat Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi jaminan juga dapat ditempuh
melalui perjanjian di bawah tangan tanpa lewat pelelangan umum. Semua kemudahan
ini diharapkan dapat menjadi daya tarik bagi lembaga keuangan untuk membiayai
usaha rintisan di bidang ekonomi kreatif dan ekonomi digital.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar